Rabu, 31 Maret 2010

Mengoptimalkan Perkembangan Perbankan

Perkembangan perbankan dibanding sektor ekonomi lain sebenarnya relatif cukup baik, sekalipun kinerjanya sejak paro kedua tahun 2005 cenderung menurun. Dana pihak ketiga maupun kredit yang disalurkan perbankan mengalami peningkatan, meski pertumbuhan tertinggi adalah pada kredit konsumsi.

Meningkatnya suku bunga seiring dengan inflasi yang tinggi menurunkan kinerja perbankan sebagaimana terlihat dari penurunan laba. Karena itu, jika Bank Indonesia (BI) dan pemerintah dapat mengendalikan inflasi, dan kecenderungan suku bunga menurun, kinerja perbankan akan membaik.

Permasalahan yang perlu mendapatkan perhatian adalah kecenderungan naiknya tingkat kredit macet (NPL) dari sekitar 7% menjadi sekitar 8%. Permasalahan kredit macet paling serius terjadi di bank terbesar, yaitu Bank Mandiri dan Bank BNI. Sejauh ini payung hukum yang dibutuhkan untuk mengatasi permasalahan kredit macet, apakah itu perubahan keputusan menteri keuangan atau peraturan presiden, belum juga dikeluarkan sekalipun pemerintah mengatakan hanya masalah waktu. Dengan tingkat NPL sekitar 24% untuk Bank Mandiri dan 12% untuk Bank BNI, jika tak segera diselesaikan, permasalahan ini mengancam kelangsungan kedua bank dan berpengaruh buruk terhadap sektor perbankan pada umumnya.

Bank BUMN, terutama Bank Mandiri dan Bank BNI, membutuhkan perlakuan sama dengan bank swasta besar, di mana permasalahan kredit macet dapat dipecahkan oleh bank itu sendiri. Dengan kata lain, ada ketegasan pemisahan antara aset negara yang diatur oleh UU Perbandaharaan Negara dengan aset bank BUMN yang diatur oleh UU Perbankan dan UU Perseroan Terbatas.

Apa yang menyulitkan bagi bank BUMN dalam pengelolaan kredit macet adalah pengertian bahwa aset BUMN sama dengan aset negara, sehingga pelepasannya membutuhkan persetujuan Menteri Keuangan -- bahkan dalam jumlah tertentu membutuhkan persetujuan DPR.

Ketentuan itu tidak berlaku bagi bank swasta. Pelepasan aset (bermasalah) adalah keputusan direksi bank -- notabene mendapatkan pengawasan BI dan dipertanggungjawabkan kepada pemegang saham dalam forum RUPS. Ini tidak berarti direksi bank swasta sesuka hati melepaskan aset. Keputusan mereka tetap dalam ketentuan peraturan yang berlaku dan sesuai prinsip kehati-hatian perbankan.

Permasalahan lain yang mendapatkan perhatian besar di perbankan adalah tingginya suku bunga yang menghambat perkembangan sektor riil. Harus diakui bahwa pembiayaan perbankan untuk sektor riil masih sentral dalam perekonomian kita, karena sumber pendanaan lain seperti pasar modal dan pasar obligasi belum optimal. Karena itu, tingkat suku bunga pinjaman -- sekitar 16-17% -- dianggap terlalu tinggi.

Tingginya suku bunga ini karena kebijakan BI untuk mengatasi inflasi yang tinggi dilakukan dengan menaikkan suku bunga. Penurunan BI Rate sebagai acuan bagi tingkat suku bunga yang dilakukan Mei lalu ke tingkat 12,5% tidak berlanjut pada Juni ini, karena kecenderungan eksternal dengan kecenderungan peningkatan suku bunga oleh bank sentral AS. BI kemungkinan menurunkan BI Rate pada Juli besok jika kecenderungan inflasi terus menurun. Namun penurunannya kemungkinan kembali hanya sekitar 0,25%. Penurunan ini tentu belum cukup untuk mendorong perkembangan kredit ke sektor riil. Namun jika penurunan BI Rate terus berlanjut, diharapkan dalam triwulan III dan triwulan IV pengaruhnya terhadap perkembangan sektor riil lebih terasa.

Bahkan sebalum BI menaikkan suku bunga pada Oktober silam menanggapi inflasi yang tinggi karena kenaikan harga BBM, dapat dikatakan bahwa interaksi sektor perbankan dan sektor riil belum optimal. Perbankan yang semakin bersifat universal menekankan pada perolehan laba dengan tingkat risiko yang terkendali. Karena itu, arah kredit perbankan terutama pada kegiatan konsumsi, seperti kartu kredit, kredit pemilikan kendaraan bermotor, dan kredit pemilikan rumah. Tentu saja kegiatan konsumsi ini terkait dengan sektor riil, namun tidak cukup besar dalam pengertian perkembangan investasi, dimana bank semakin enggan menyalurkan kredit investasi karena resikonya yang tinggi. Kelebihan likuditas perbankan pada umumnya ditanamkan pada Sertifikat bank Indonesia (SBI) dan Surat Utang Negara (SUN).

Mensinergaikan perkembangan sektor perbankan dengan sektor riil tidaklah mudah, karena terkait dengan keadaan keuangan perusahaan di sektor riil itu sendiri dan tingkat resikonya. Bank tidak lagi menjadi sarana pembangunan seperti sebelumnya, tetapi menjadi entitas bisnis yang mengikuti kaidah-kaidahnya sendiri. Perkembangan perbankan bisa sejalan dan juga tidak sejalan dengan tuntutan pembangunan. Untuk mendapatkan pertumbuhan yang tinggi dan penciptaan kesempatan kerja, investasi sangat dibutuhkan. Namun dilihat dari tingkat risiko, kredit investasi, paling tidak sekarang ini, adalah yang tertinggi karena itu keterlibatan bank menjadi minimal.

Bagaimanapun sinergi perkembangan perbankan dan sektor riil harus dioptimalkan agar potensi perkembangan ekonomi juga optimal. Tentu saja sumber pendanaan lain, terutama dari pasar modal dan pasar obligasi perlu terus dikembangkan. Rencana pemerintah untuk mempermudah perusahaan yang masuk pasar modal, antara lain dengan keringanan persyaratan perpajakan adalah salah satu cara yang akan ditempuh. Sedangkan bagi perusahaan yang akan menerbitkan obligasi persyaratannya untuk berhasil sebenarnya lebih berat daripada mendapatkan kredit dari perbankan. Jadi selama perkembangan pasar modal dan pasar obligasi masih terbatas, perkembangan sektor riil masih akan sangat bergantung pada perbankan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar